Sunday, August 25, 2013

Lebih Indah*

Cinta? Cih, berkatnya aku tidak mengenal kata itu. Aneh memang. Dulu aku sangat memujanya, tapi tidak sekarang. Sekali lagi, itu berkatnya. Terima kasih pada kebencian yang telah ia tumbuhkan di diriku.
Ia adalah orang yang pernah kucintai sepenuh hati—aku yakin itu cinta, bukan hanya sekadar suka. Ia juga merupakan kekasih terlamaku—6 tahun 2 bulan 15 hari. Jangan aneh aku masih mengingat itu karena menurutku itu adalah masa-masa penderitaanku. Memang tidak selalu menderita, tapi—lagi-lagi berkatnya—aku membenci masa itu.
“Hai, Sayang,” sapaku dengan mesra ketika meneleponnya. “Kita jalan, yuk,” ajakku dengan suara ceria. Aku memang sedang senang hari ini. Setelah seminggu lebih tidak bertemu dengannya, hari ini aku bisa melampiaskan rinduku padanya. Membayangkannya saja sudah membuatku senang.
“Ke mana?” tanyanya singkat. Entah pendengaranku salah dengar atau apa, tapi aku merasa ia tidak terlalu semangat dengan ideku.
“Pantai,” sahutku berusaha tidak terpengaruh dengan suaranya.
“Kapan?” lagi-lagi nada datar yang kutangkap.
“Sekarang dong, Sayang, kan kita udah lama nggak ketemu.”
“Sekarang aku nggak bisa, mau nemenin Mama ke Bandung.”
“Yah… kok gitu sih, Sayang? Kan aku udah kangen banget sama kamu,” kataku dengan suara membujuk.
“Nggak bisa, udah janji sama Mama, nanti aja deh,” tolaknya.
“Nanti kapan? Ini bukan pertama kalinya kamu nolak ajakan jalan sama aku, lho,” kataku yang mulai tidak semangat. Segala keantusiasan tadi hilang entah ke mana.
“Kalo aku bilang nggak bisa, ya nggak bisa. Ngeyel banget, sih!?” suaranya mulai terdengar meninggi.
Aku menghela napas dalam-dalam, mengalah, sepertinya itu lebih baik. “Ya udahlah, oke, maaf. Kamu berapa hari di Bandung?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Tiga hari. Ya udah, aku tutup ya, lagi sibuk packing.” Dan tanpa menunggu balasan dariku, ia sudah mematikan hubungan.
Esok harinya, aku malah melihat ia yang seharusnya berada di Bandung, berjalan bergandengan tangan dengan seorang lelaki yang ternyata adalah lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama dua bulan terakhir. Pantas saja ia tidak pernah mau kuajak jalan. Hubungan enam tahun dan ia buang begitu saja. Tak bisakah ia memikirkan cara berpisah yang lebih baik?
Citttt!
Hampir saja aku menabrak seorang perempuan yang sedang menyebrang jalan. Sial, memikirkan perempuan penebar luka itu memang selalu membuatku kehilangan konsentrasi. Setelah memarkir mobilku di pinggir jalan, aku keluar dari mobil dan menghampiri perempuan yang masih terlihat agak syok itu.
“Mbak, nggak apa-apa?” tanyaku yang agak khawatir karena takut terlibat masalah, apalagi kalau sampai berurusan dengan polisi. Ribet.
“Nggak apa-apa kok, Mas,” jawabnya seraya mengembangkan senyum lebarnya padaku.
Deg! Luka dua tahun ini karena perempuan penebar luka itu, aku tahu akan hilang berkat perempuan yang berdiri di hadapanku ini. Perempuan itu dengan satu senyumnya telah meluluhlantakkan semua tembok pertahanan yang selama dua tahun ini kubangun. Aku segera membalas senyum perempuan itu, perempuan masa depanku.

*terinspirasi dari lagu Adera- Lebih Indah

160413
Gemala Dwi Areta

Thursday, April 25, 2013

di mana pembimbingku?

ketika langit menumpahkan peluhnya pada bumi
di sudut ruangan aku menanti
di mana pembimbingku hari ini?
duduk sendiri
dengan segelas kopi menanti
sekali lagi,
di mana pembingbingku hari ini?
bukan karena rindu setengah mati
tapi karena skripsi.
ah, di mana pembimbingku hari ini?

depan ruang dosen, 250413. 15.50

Friday, April 12, 2013

Benang Merah

Lihat, ia tersenyum seperti orang bodoh.
Ia telah jatuh cinta, katanya.
Semua yang keluar dari mulutnya
hanyalah tentang orang itu,
orang yang telah membuatnya tergila-gila.
Orang itu adalah benang merahnya, katanya.
Ia memang bodoh,
mitos pun ia percaya.
Lalu ia tertawa,
lagi-lagi seperti orang bodoh
dan yang paling bodohnya adalah
aku mencintai orang bodoh itu.
010413. 19.38

            Sejak tadi yang ia lakukan hanyalah tersenyum seperti orang bodoh. Mungkin salah satu sarafnya terputus hingga ia bertingkah bodoh seperti ini. Yah… memang ia tidak pintar-pintar amat, tetapi ia juga tidak sebodoh ini.
          “Gue jatuh cinta.” Dan kalimat itu cukup menjelaskan sikap bodohnya tersebut. Aku pernah mendengar kalau orang yang sedang jatuh cinta akan menjadi orang bodoh dan ternyata benar.
          “Dia wow banget dan gue yakin kalo dia takdir gue,” katanya lagi dengan nada penuh antusias.
          “Takdir?” ulangku dengan nada sarkatis.
          “Iya,” angguknya dengan ceria. “Dia itu bener-bener bisa ngisi kekurangan gue. Dia jenius, rapi, bersih, cantik, oh My God, she’s just perfect.” Lalu ia mengeluarkan selembar fotoia dan seorang perempuan bak model.
          Oke, perempuan seperti ini yang memang jadi tipenyacantik, tinggi, ramping, tipe perempuan cantik yang ideal. Dari sepuluh perempuan yang pernah ia pacari, delapan di antaranya adalah tipe perempuan yang seperti itu. Namun, tak jarang mereka hanya cantik di luar, tidak di dalam, meskipun tidak semua.
          “Cantik luar-dalem nggak?” sindirku.
          “Iya.” Ia mengangguk yakin. “Dia beda dari cewek-cewek yang pernah gue pacarin, dia nggak kayak mereka. Nggak sombong, nggak pendendam, nggak terlalu egois, tapi dia keras kepala.” Aku melihat nada bangga di matanya. Sepertinya ia benar-benar telah jatuh cinta kali ini.
          “Gue yakin ada benang merah di antara gue sama dia.” Matanya tidak terlihat bercanda.
          Aku mendegus. Benang merah? Ia percaya dengan teori benang merah ini yang dikatakan bahwa setiap sepasang orang yang ditakdirkan terbentang seulas benang merah di antara mereka dan terikat di jari kelingking masing-masing.
          “Lo nggak percaya sama gue?” ia cukup mengenalku untuk mengetahui sikapku.
          “Cuma Tuhan yang tau jodoh lo,” kataku yang tidak ingin menjawab secara langsung.
          “Iya, emang, tapi gue yakin Tuhan nakdirin gue sama dia,” sahutnya dengan penuh percaya diri.
          Sepertinya perempuan itu benar-benar telah membuatnya tergila-gila.
          “Seyakin itukah?” cetusku.
          “Iya, gue yakin banget.” Pancaran matanya itu tak pernah kulihat sebelumnya. Terlalu yakin, padahal mungkin saja pancaran itu akan berganti sendu ketika ia dihampiri luka.
          “Dia benang merah gue,” katanya lagi, tegas dan yakin. Lalu ia tersenyum lebar ketika melihat foto dirinya dengan perempuan itu.
          Akal sehatnya telah dirusak oleh perempuan itu, aku tahu. Entah susuk apa yang digunakan perempuan itu, tapi ia berhasil pada lelaki yang telah lama menjadi teman terdekatku itu. Benang merah. Dasar bodoh, ia pikir hal seperti itu ada? Aku tahu itu hanya mitos agar orang-orang yang belum mendapatkan pasangan merasa bahwa di luar sana memang ada orang yang ditakdirkan untuk mereka. Ia memang bodoh dan yang lebih bodohnya adalah aku mencintai lelaki bodoh itu.

Jaticempaka, 020413
bumiberkicau.blogspot.com
Gemala Dwi Areta

Wednesday, March 27, 2013

Monday, February 25, 2013

Kereta dan stasiunnya


Menunggu cinta itu seperti menunggu kereta;
kamu keretanya
dan aku stasiunnya.

Kereta akan berhenti melangkah
ketika ia menemukan stasiun
yang dapat membuatnya menetap.

Kereta yang berlari kencang
tidak berarti ia tidak akan berhenti.

Kereta yang datang dengan cepat
tidak selalu tepat.
Seringkali, untuk menemukan kereta yang tepat
dibutuhkan kesabaran.

Wahai keretaku,
berhentilah berlari
dan menetaplah
di stasiunku.
280113. 19.36


Friday, February 1, 2013

Ini luka


Aku terus berlari
berharap angin membawa pergi
perih ini
tapi bayang itu masih mengejarku
menciptakan kengerian yang luar biasa menganggu.

Jika aku tahu akan semenyakitkan ini
dulu aku tidak akan mengejarmu tak kenal hari
tapi ini hati
yang menginginkanmu seperti mati.

Sekarang, hatiku berdarah
serta dipenuhi amarah.
Rasanya seperti ingin menyerah.

Puaskah kau tlah buatku tak berdaya?

Ini luka
darimu yang tak mengerti cinta.
280113. 21.34