Tuesday, November 13, 2012

aku ingat

aku ingat pernah mencintaimu
dengan sepenuh hati
dan itu menyenangkan.
sangat malah.
aku juga ingat luka yang kau berikan untukku
dan itu menyakitkan.
sangat malah.
tapi aku bersyukur pernah mengenalmu
sesakit apa pun hatiku,
aku tidak pernah benar-benar bisa membencimu.

wiie
071112. 12.19.57

Untuk Tuhan



            Aku tersesat. Mana Tuhan yang katanya akan selalu membantu umat-Nya yang sedang membutuhkan pertolongan? Sudah lama aku terus saja berputar-putar di jalan ini, tapi sampai sekarang aku belum juga menemukan ujung dari jalan ini. Malah kebanyakan dari cabang jalan ini buntu.
            Sudah berulang kali aku memohon pada Tuhan agar membantuku dalam menemukan ujung jalan ini, tapi yang ada aku malah semakin tersesat. Jalan ini menyeramkan; banyak sekali jalan bercabang dan banyak pula yang buntu, ditambah lagi dengan penerangan lampu yang remang-remang, dan lagi, aku belum bisa keluar dari jalan ini.
            Aku berdiri menyandar pada sebuah pohon besar yang berada di pinggir jalan. Dadaku sesak, mataku panas, aku sudah tidak sanggup lagi dengan semua ini, begitu juga dengan mataku yang sudah tidak bisa menahan air yang ingin keluar. Akhirnya aku pun menangis dengan sesunggukan.
            “Aku menyerah, Tuhan,” kataku dalam hati. “Aku tidak bisa menemukan ujung jalan ini dan aku sudah tidak sanggup lagi untuk mencarinya. Biarkan aku keluar dari sini, Tuhan.”
            Jika memang Tuhan itu Maha Mendengar, seharusnya perkataanku itu akan membuat-Nya terenyuh dan Ia akan membantuku menemukan ujung jalan ini.
{{{
            “Aku maafin kamu, Bani.” Juliet. Seorang gadis yang sudah kupacari selama tiga bulan, yang sudah kuselingkuhi dengan dua gadis lainnya dan ketika ia mengetahui itu, inilah reaksinya:
            PLAK!! “Gue harap lo ketabrak!” dan ia pun melangkah pergi.
{{{
            “Bani, gue udah maafin elo.” Robin, seorang pemuda tampan dan berasal dari keluarga kaya. Teman yang dua bulan lalu kekasihnya kujadikan selingkuhan. Mobilnya kuhancurkan—karena aku menyetir dalam keadaan mabuk—dan aku telah berbohong padanya ketika meminjam uangnya yang sebesar lima juta dengan alasan untuk biaya rumah sakit ibuku—kenyataannya, ibuku dalam keadaan sehat dan uang itu aku gunakan untuk membeli shabu-shabu. Reaksinya adalah:
            Ia memukuliku habis-habisan lalu berkata, “Gue harap lo masuk Rumah Sakit dan koma selama tiga minggu!”
{{{
           Seorang wanita yang kira-kira berumur 50-53 tahun memandangiku dengan berbagai ekspresi; terkejut, marah, dan sedih. Lalu ia duduk di kursi yang berada di sebelah tempat tidurku. Ia adalah ibuku yang setiap perkataannya tidak pernah kudengarkan yang ada malah selalu kubantah. Ia juga yang mengeluarkanku dari penjara ketika aku dan teman-temanku tertangkap sedang pesta shabu-shabu. Ia sampai meminjam pada lintah darat karena uang jaminan untuk mengeluarkanku lumayan besar untuk keluarga kami, apalagi ibu hanya membuka usaha warung kecil-kecilan. Kira-kira empat bulan lalu, aku telah benar-benar menghancurkan hidupnya karena aku kabur setelah seorang gadis remaja mendatangiku dan memintaku untuk menikahinya karena aku sudah menghamilinya.
            Sebulan yang lalu, aku pulang kembali ke rumah, hanya untuk mengambil beberapa pakaian dan aku mengambil selembar uang lima puluh ribu dari laci tempat ibuku menyimpan uangnya.
            “Dasar anak nggak tau diri! Anak kayak kamu lebih baik mati dari pada hidup nyusahin orang lain doang!”
            “Ya udah, rajin-rajin doa aja, ya, sama Tuhan biar gue cepet mati,” sahutku kala itu.
            Dan inilah perkataannya sekarang, “Ibu maafin kamu, Nak.”
{{{
            Aku terkejut ketika melihat sebuah cahaya yang sangat menyilaukan dari kejauhan. Kuhapus air mataku dan segera berlari menuju cahaya itu. Walaupun aku tidak tahu pasti apa itu, tapi entah kenapa aku ingin sekali berlari ke arahnya.
            “Selamat datang di akhirat.” Dua orang yang berpakaian hitam dan putih menyambutku.
{{{
            “Suster! Suster!” teriak ibu dengan panik ketika melihat garis lurus di layar yang memonitor pergerakan nadiku.
            Dua orang suster dan seorang dokter mencoba menyelamatkanku, tapi akhirnya mereka menyerah.
            “Maaf, Ibu,” ucap dokter itu dengan lirih dan penuh penyesalan.
            Seketika, tangis ibu pecah. Melihat itu benar-benar mengiris hatiku.
{{{
            “Bu, maafin Bani, ya, selalu nyusahin Ibu. Mungkin ini jalan terbaik buat kita. Sekali lagi, maafin Bani, Bu.” Setetes air jatuh di pipiku.
            Ibu hanya memandangiku dengan mata yang berkaca-kaca. Begitu juga ketika aku mulai meninggalkannya. Mungkin ia tidak tahu harus berbuat apa.
            Meski hanya lewat mimpi, setidaknya itu bisa membuatku tenang, pergi tanpa ada ganjalan. Sepertinya Tuhan muak dengan perbuatanku selama ini sehingga Ia mengabulkan perkataan Juliet, Robin, dan ibuku agar aku sadar.
            Haahhh…. Tuhan, aku minta maaf.
070111-080111
Created by:
Gemala Dwie Areta
dwiesanganakbaik@yahoo.com