Cinta?
Cih, berkatnya aku tidak mengenal kata itu. Aneh memang. Dulu aku sangat
memujanya, tapi tidak sekarang. Sekali lagi, itu berkatnya. Terima kasih pada
kebencian yang telah ia tumbuhkan di diriku.
Ia
adalah orang yang pernah kucintai sepenuh hati—aku yakin itu cinta, bukan hanya
sekadar suka. Ia juga merupakan kekasih terlamaku—6 tahun 2 bulan 15 hari.
Jangan aneh aku masih mengingat itu karena menurutku itu adalah masa-masa
penderitaanku. Memang tidak selalu menderita, tapi—lagi-lagi berkatnya—aku
membenci masa itu.
“Hai,
Sayang,” sapaku dengan mesra ketika meneleponnya. “Kita jalan, yuk,” ajakku
dengan suara ceria. Aku memang sedang senang hari ini. Setelah seminggu lebih
tidak bertemu dengannya, hari ini aku bisa melampiaskan rinduku padanya. Membayangkannya
saja sudah membuatku senang.
“Ke
mana?” tanyanya singkat. Entah pendengaranku salah dengar atau apa, tapi aku
merasa ia tidak terlalu semangat dengan ideku.
“Pantai,”
sahutku berusaha tidak terpengaruh dengan suaranya.
“Kapan?”
lagi-lagi nada datar yang kutangkap.
“Sekarang
dong, Sayang, kan kita udah lama nggak ketemu.”
“Sekarang
aku nggak bisa, mau nemenin Mama ke Bandung.”
“Yah…
kok gitu sih, Sayang? Kan aku udah kangen banget sama kamu,” kataku dengan
suara membujuk.
“Nggak
bisa, udah janji sama Mama, nanti aja deh,” tolaknya.
“Nanti
kapan? Ini bukan pertama kalinya kamu nolak ajakan jalan sama aku, lho,” kataku
yang mulai tidak semangat. Segala keantusiasan tadi hilang entah ke mana.
“Kalo
aku bilang nggak bisa, ya nggak bisa. Ngeyel banget, sih!?” suaranya mulai
terdengar meninggi.
Aku
menghela napas dalam-dalam, mengalah, sepertinya itu lebih baik. “Ya udahlah,
oke, maaf. Kamu berapa hari di Bandung?” tanyaku yang berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“Tiga
hari. Ya udah, aku tutup ya, lagi sibuk packing.”
Dan tanpa menunggu balasan dariku, ia sudah mematikan hubungan.
Esok
harinya, aku malah melihat ia yang seharusnya berada di Bandung, berjalan
bergandengan tangan dengan seorang lelaki yang ternyata adalah lelaki yang
telah menjadi kekasihnya selama dua bulan terakhir. Pantas saja ia tidak pernah
mau kuajak jalan. Hubungan enam tahun dan ia buang begitu saja. Tak bisakah ia
memikirkan cara berpisah yang lebih baik?
Citttt!
Hampir
saja aku menabrak seorang perempuan yang sedang menyebrang jalan. Sial,
memikirkan perempuan penebar luka itu memang selalu membuatku kehilangan
konsentrasi. Setelah memarkir mobilku di pinggir jalan, aku keluar dari mobil
dan menghampiri perempuan yang masih terlihat agak syok itu.
“Mbak,
nggak apa-apa?” tanyaku yang agak khawatir karena takut terlibat masalah,
apalagi kalau sampai berurusan dengan polisi. Ribet.
“Nggak
apa-apa kok, Mas,” jawabnya seraya mengembangkan senyum lebarnya padaku.
Deg!
Luka dua tahun ini karena perempuan penebar luka itu, aku tahu akan hilang
berkat perempuan yang berdiri di hadapanku ini. Perempuan itu dengan satu
senyumnya telah meluluhlantakkan semua tembok pertahanan yang selama dua tahun
ini kubangun. Aku segera membalas senyum perempuan itu, perempuan masa depanku.
*terinspirasi dari lagu
Adera- Lebih Indah
160413
Gemala Dwi Areta
Gemala Dwi Areta