Aku
tersesat. Mana Tuhan yang katanya akan selalu membantu umat-Nya yang sedang
membutuhkan pertolongan? Sudah lama aku terus saja berputar-putar di jalan ini,
tapi sampai sekarang aku belum juga menemukan ujung dari jalan ini. Malah
kebanyakan dari cabang jalan ini buntu.
Sudah
berulang kali aku memohon pada Tuhan agar membantuku dalam menemukan ujung
jalan ini, tapi yang ada aku malah semakin tersesat. Jalan ini menyeramkan;
banyak sekali jalan bercabang dan banyak pula yang buntu, ditambah lagi dengan
penerangan lampu yang remang-remang, dan lagi, aku belum bisa keluar dari jalan
ini.
Aku
berdiri menyandar pada sebuah pohon besar yang berada di pinggir jalan. Dadaku
sesak, mataku panas, aku sudah tidak sanggup lagi dengan semua ini, begitu juga
dengan mataku yang sudah tidak bisa menahan air yang ingin keluar. Akhirnya aku
pun menangis dengan sesunggukan.
“Aku
menyerah, Tuhan,” kataku dalam hati. “Aku tidak bisa menemukan ujung jalan ini
dan aku sudah tidak sanggup lagi untuk mencarinya. Biarkan aku keluar dari
sini, Tuhan.”
Jika
memang Tuhan itu Maha Mendengar, seharusnya perkataanku itu akan membuat-Nya
terenyuh dan Ia akan membantuku menemukan ujung jalan ini.
{{{
“Aku
maafin kamu, Bani.” Juliet. Seorang gadis yang sudah kupacari selama tiga bulan,
yang sudah kuselingkuhi dengan dua gadis lainnya dan ketika ia mengetahui itu,
inilah reaksinya:
PLAK!!
“Gue harap lo ketabrak!” dan ia pun melangkah pergi.
{{{
“Bani,
gue udah maafin elo.” Robin, seorang pemuda tampan dan berasal dari keluarga
kaya. Teman yang dua bulan lalu kekasihnya kujadikan selingkuhan. Mobilnya
kuhancurkan—karena aku menyetir dalam keadaan mabuk—dan aku telah berbohong
padanya ketika meminjam uangnya yang sebesar lima juta dengan alasan untuk biaya rumah
sakit ibuku—kenyataannya, ibuku dalam keadaan sehat dan uang itu aku gunakan
untuk membeli shabu-shabu. Reaksinya adalah:
Ia
memukuliku habis-habisan lalu berkata, “Gue harap lo masuk Rumah Sakit dan koma
selama tiga minggu!”
{{{
Seorang
wanita yang kira-kira berumur 50-53 tahun memandangiku dengan berbagai
ekspresi; terkejut, marah, dan sedih. Lalu ia duduk di kursi yang berada di
sebelah tempat tidurku. Ia adalah ibuku yang setiap perkataannya tidak pernah
kudengarkan yang ada malah selalu kubantah. Ia juga yang mengeluarkanku dari
penjara ketika aku dan teman-temanku tertangkap sedang pesta shabu-shabu. Ia
sampai meminjam pada lintah darat karena uang jaminan untuk mengeluarkanku
lumayan besar untuk keluarga kami, apalagi ibu hanya membuka usaha warung
kecil-kecilan. Kira-kira empat bulan lalu, aku telah benar-benar menghancurkan
hidupnya karena aku kabur setelah seorang gadis remaja mendatangiku dan
memintaku untuk menikahinya karena aku sudah menghamilinya.
Sebulan
yang lalu, aku pulang kembali ke rumah, hanya untuk mengambil beberapa pakaian
dan aku mengambil selembar uang lima
puluh ribu dari laci tempat ibuku menyimpan uangnya.
“Dasar
anak nggak tau diri! Anak kayak kamu lebih baik mati dari pada hidup nyusahin
orang lain doang!”
“Ya
udah, rajin-rajin doa aja, ya, sama Tuhan biar gue cepet mati,” sahutku kala
itu.
Dan
inilah perkataannya sekarang, “Ibu maafin kamu, Nak.”
{{{
Aku
terkejut ketika melihat sebuah cahaya yang sangat menyilaukan dari kejauhan.
Kuhapus air mataku dan segera berlari menuju cahaya itu. Walaupun aku tidak
tahu pasti apa itu, tapi entah kenapa aku ingin sekali berlari ke arahnya.
“Selamat
datang di akhirat.” Dua orang yang berpakaian hitam dan putih menyambutku.
{{{
“Suster!
Suster!” teriak ibu dengan panik ketika melihat garis lurus di layar yang
memonitor pergerakan nadiku.
Dua
orang suster dan seorang dokter mencoba menyelamatkanku, tapi akhirnya mereka
menyerah.
“Maaf,
Ibu,” ucap dokter itu dengan lirih dan penuh penyesalan.
Seketika,
tangis ibu pecah. Melihat itu benar-benar mengiris hatiku.
{{{
“Bu,
maafin Bani, ya, selalu nyusahin Ibu. Mungkin ini jalan terbaik buat kita.
Sekali lagi, maafin Bani, Bu.” Setetes air jatuh di pipiku.
Ibu
hanya memandangiku dengan mata yang berkaca-kaca. Begitu juga ketika aku mulai
meninggalkannya. Mungkin ia tidak tahu harus berbuat apa.
Meski
hanya lewat mimpi, setidaknya itu bisa membuatku tenang, pergi tanpa ada
ganjalan. Sepertinya Tuhan muak dengan perbuatanku selama ini sehingga Ia
mengabulkan perkataan Juliet, Robin, dan ibuku agar aku sadar.
Haahhh….
Tuhan, aku minta maaf.
070111-080111
Created
by:
Gemala
Dwie Areta
dwiesanganakbaik@yahoo.com
No comments:
Post a Comment