ketika langit menumpahkan peluhnya pada bumi
di sudut ruangan aku menanti
di mana pembimbingku hari ini?
duduk sendiri
dengan segelas kopi menanti
sekali lagi,
di mana pembingbingku hari ini?
bukan karena rindu setengah mati
tapi karena skripsi.
ah, di mana pembimbingku hari ini?
depan ruang dosen, 250413. 15.50
Thursday, April 25, 2013
Friday, April 12, 2013
Benang Merah
Lihat, ia tersenyum
seperti orang bodoh.
Ia telah jatuh cinta,
katanya.
Semua yang keluar dari
mulutnya
hanyalah tentang orang
itu,
orang yang telah
membuatnya tergila-gila.
Orang itu adalah benang
merahnya, katanya.
Ia memang bodoh,
mitos pun ia percaya.
Lalu ia tertawa,
lagi-lagi seperti orang
bodoh
dan yang paling bodohnya
adalah
aku mencintai orang bodoh
itu.
010413.
19.38
Sejak tadi
yang ia lakukan hanyalah tersenyum seperti orang bodoh. Mungkin salah satu
sarafnya terputus hingga ia bertingkah bodoh seperti ini. Yah… memang ia tidak
pintar-pintar amat, tetapi ia juga tidak sebodoh ini.
“Gue jatuh cinta.” Dan kalimat itu cukup menjelaskan sikap
bodohnya tersebut. Aku pernah mendengar kalau orang yang sedang jatuh cinta
akan menjadi orang bodoh dan ternyata benar.
“Dia wow banget dan gue yakin kalo dia takdir gue,” katanya
lagi dengan nada penuh antusias.
“Takdir?” ulangku dengan nada sarkatis.
“Iya,” angguknya dengan ceria. “Dia itu bener-bener bisa
ngisi kekurangan gue. Dia jenius, rapi, bersih, cantik, oh My God, she’s just perfect.” Lalu ia mengeluarkan selembar foto—ia dan seorang perempuan bak model.
Oke, perempuan seperti ini yang memang jadi tipenya—cantik, tinggi, ramping, tipe perempuan cantik yang ideal. Dari
sepuluh perempuan yang pernah ia pacari, delapan di antaranya adalah tipe
perempuan yang seperti itu. Namun, tak jarang mereka hanya cantik di luar,
tidak di dalam, meskipun tidak semua.
“Cantik luar-dalem nggak?” sindirku.
“Iya.” Ia mengangguk yakin. “Dia beda dari cewek-cewek yang
pernah gue pacarin, dia nggak kayak mereka. Nggak sombong, nggak pendendam,
nggak terlalu egois, tapi dia keras kepala.” Aku melihat nada bangga di matanya.
Sepertinya ia benar-benar telah jatuh cinta kali ini.
“Gue yakin ada benang merah di antara gue sama dia.”
Matanya tidak terlihat bercanda.
Aku mendegus. Benang merah? Ia percaya dengan teori benang
merah ini yang dikatakan bahwa setiap sepasang orang yang ditakdirkan
terbentang seulas benang merah di antara mereka dan terikat di jari kelingking
masing-masing.
“Lo nggak percaya sama gue?” ia cukup mengenalku untuk
mengetahui sikapku.
“Cuma Tuhan yang tau jodoh lo,” kataku yang tidak ingin
menjawab secara langsung.
“Iya, emang, tapi gue yakin Tuhan nakdirin gue sama dia,”
sahutnya dengan penuh percaya diri.
Sepertinya perempuan itu benar-benar telah membuatnya
tergila-gila.
“Seyakin itukah?” cetusku.
“Iya, gue yakin banget.” Pancaran matanya itu tak pernah
kulihat sebelumnya. Terlalu yakin, padahal mungkin saja pancaran itu akan berganti
sendu ketika ia dihampiri luka.
“Dia benang merah gue,” katanya lagi, tegas dan yakin. Lalu
ia tersenyum lebar ketika melihat foto dirinya dengan perempuan itu.
Akal sehatnya telah dirusak oleh perempuan itu, aku tahu.
Entah susuk apa yang digunakan perempuan itu, tapi ia berhasil pada lelaki yang
telah lama menjadi teman terdekatku itu. Benang merah. Dasar bodoh, ia pikir
hal seperti itu ada? Aku tahu itu hanya mitos agar orang-orang yang belum
mendapatkan pasangan merasa bahwa di luar sana memang ada orang yang
ditakdirkan untuk mereka. Ia memang bodoh dan yang lebih bodohnya adalah aku
mencintai lelaki bodoh itu.
Jaticempaka, 020413
bumiberkicau.blogspot.com
Gemala Dwi Areta